Memaknai Hari Raya Kurban
SUATU kebanggaan dan kebahagiaan bagi umat Islam ketika merayakan hari raya, baik itu Idul Fitri maupun Idul Adha.
Tidak ada satu pun agama di dunia ini selain agama Islam yang merayakan hari rayanya dengan saling bermaaf-maafan atau saling berbagi daging korban antara sesama. Itu hanya ditemui di dalam agama Islam.
Mungkin ada di antara kita yang hanya setahun sekali dapat merasakan lezatnya nikmat daging sapi/kambing. Saat itulah bersama-sama seluruh umat Islam yang lain baik kaya maupun miskin, rakyat jelata maupun pejabat merasakan menu masakan daging yang serupa. Dan inilah bukti nyata bahwa agama Islam adalah rahmat bagi seluruh alam semesta.
Memaknai Hari Raya Kurban kita akan mengingatkan kembali ke sejarah Nabi Ibrahim as saat menerima perintah dari Allah SWT untuk melaksanakan kurban. Saat itu Nabi Ibrahim diwahyukan untuk menyembelih anak kandung sendiri yaitu Ismail as. Seorang putera yang sangat dicintai dan telah dinanti kehadirannya sekian lama, tiba-tiba ketika beranjak remaja Allah berkehendak lain. Perintah Allah datang ke Ibrahim melalui mimpi untuk mengorbankan anak yang dicintainya itu.
Bayangkan, jika sekarang perintah serupa itu datang kepada kita. Anda tiba-tiba diminta menyembelih anak kandung yang telah Anda cintai. Mungkin tidak akan sekuat seperti Nabi Ibarahim menerima perintah Allah tersebut. Namun saat itu Nabi Ibrahim meyakini perintah Allah itu berada di atas segala-galanya meskipun itu harta benda, nyawa atau anak yang sangat disayanginya yang harus dikorbankan.
Dalam kisahnya, saat Nabi Ibrahim akan menempelkan pisau ke leher Ismail, tiba-tiba Allah menggantinya dengan seekor domba besar. Ini adalah wujud cinta kasih Allah kepada umat manusia sekaligus merupakan jawaban atas korban manusia yang telah dilakukan umat-umat terdahulu seperti di Mesir, di mana gadis yang disembahkan pada dewi sungai Nil, suku Aztec yang memberikan persembahan darah dan jantung manusia ke dewa matahari atau bangsa Viking yang menyerahkan pemuka agama kepada dewa perang Odin.
Allah tidak pernah memerlukan sesajen yang seperti itu. Allah hanya ingin menguji tingkat kepatuhan dan ketaatan seseorang hamba-Nya terhadap-Nya. Karena sesungguhnya Allah tak memerlukan pengorbanan. Tapi sejatinya, pengorbanan yang dilakukan seorang hamba itu pahalanya akan dinikmatinya kelak di yaumil akhir.***